13 Agu 2011

Semper Reformanda



Tergelitik oleh status facebook seorang sahabat, yang berbicara tentang "apa yang dapat berubah, dan apa yang tak dapat berubah", membuatku tergerak untuk menyampaikan pesan lama yang telah dilupakan orang, yakni tentang kebijaksanaan untuk "mengenali" yang masih dapat dirubah, dan yang tidak dapat dirubah..

Dari status sahabat tadi, terungkap tanggapan-tanggapan yang cukup baik, namun seperti "telur dan ayam", semua menyatakan sisi pandangannya sendiri, tanpa memberi makna yang jelas. Ada yang berkata bahwa karakter manusia tidak dapat berubah, dan ada pula yg menanggapi bahwa nurani manusia selalu berubah, bahkan ada pula yang menyatakan bahwa ada banyak manusia yang tidak memiliki nurani lagi..?? (*untuk melindungi privasi, maka redaksi tidak dipublikasikan)

Singkatnya, pesan-pesan para sahabat itu berbicara tentang kemasan, sementara aku membawakan pesan yang bukan berbicara tentang “kemasan”, dan bukan juga tentang "isi" kemasan, melainkan tentang "inti" kemasan. Intinya, bukan tentang eksoteris, melainkan esoteris manusia. Karena sesungguhnya, manusia bukan hidup dari prinsip-prinsip atau karakter-karakter kepribadiannya, melainkan dari "sumber hidup". Seperti ada tertulis, "manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari Sabda Hidup" (Dt 8:3)..

Namun sayang, semuanya tidak menangkap makna dari pesan yang aku sampaikan, padahal pesan itu cukup sederhana saja, Semper Reformanda (latin; selalu mengikuti perubahan). Sebuah pesan yang menjiwai semangat mendiang Paus Yohanes XXIII untuk menjawab tantangan kekuatan komunisme di daratan eropa, serta membangkitkan semangat baru untuk menciptakan dunia yang lebih damai..!

Biji Benih, Refleksi Hidup


Bila kita bercermin dari entitas kehidupan di bumi, maka refleksi dari kehidupan biji benih yang tumbuh hingga menjadi pokok pohon yang besar, dapat menjadi ukuran minimal bagi kita untuk bisa memaknai pengertian tentang "inti". Karena ternyata yang terpenting bagi hidup biji benih itu bukanlah tentang "siapa yang menanam, atau siapa yang menyiraminya", melainkan "siapa yang mempertumbuhkannya". Bercermin dari ukuran yang terkecil ini, maka bisa kita pahami bahwa memang manusia bukan hidup hanya dari roti saja, melainkan dari Sang Sumber Hidup..


Ilustrasi-nya, apabila buah apel tidak mau merubah dirinya menjadi busuk, maka biji apel di dalam buah tidak memiliki kemampuan untuk menyerap sari pati daging dari buah, yang tak lain adalah dirinya sendiri. Dan sudah barang tentu, biji benih itu juga tak memiliki kemampuan untuk menumbuhkan akar kehidupan bagi dirinya sendiri. Namun sebaliknya, bila buah apel mau merubah dirinya, maka kehidupan biji benih akan terus berlanjut menjadi tunas, lalu bertumbuh menjadi pokok pohon yang besar, dan seterusnya berkembang dan berbuah. Dan seterusnya demikian. Dengan kata lain, Sang Sumber Hidup telah memberikan daya cipta-Nya di dalam diri apel agar memiliki kemampuan untuk hidup, bertumbuh, berkembang dan berbuah, dan seterusnya menciptakan benih kehidupan yang baru..

Ilusi Pikiran dan Rasa


Nah, yang membedakan manusia dengan biji benih itu, hanyalah soal instrumen pikiran dan rasa saja. Kedua instrumen itu tidak ada pada biji benih. Tapi pada pengertian "inti" hidup, manusia dan biji benih sama-sama berasal dari sumber hidup yang sama, yakni Sang Mahapencipta..


Instrumen pikiran dan perasaan tersebut sangat berperan besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia, dan melalui kedua instrumen itulah terbentuk berbagai karakter kepribadian manusia, seiring dengan interaksi kedua instrumen tersebut dengan daya "hasrat" dan pengalaman hidupnya masing-masing. Namun sayangnya sepanjang perjalanan pengalaman hidupnya, manusia selalu mengedepankan hasratnya saja dan kurang memiliki kesadaran dalam mengolah pikiran dan perasaannya untuk mengenali keberadaan "hasrat" itu sendiri, sehingga manusia mudah terjebak dalam problema hidup. Karena yang sering menjadi sumber masalah dalam pikiran dan perasaan manusia adalah sajian "hasrat" yang berbumbu "nafsu" dan "malu". Kedua bumbu makanan ini juga yang selalu menghalangi Sang Sumber Hidup untuk memberikan daya cipta-Nya dalam jiwa manusia..

Ilustrasi-nya, ketika manusia berhasrat ingin menguasai sesuatu, maka perasaannya akan memberi makan pikirannya dengan bumbu "nafsu" untuk memenuhi keinginannya itu. Dan ketika pikiran sedang mengolah menu "nafsu", maka perasaannya pun turut menikmati hasil olahan "nafsu" dari pikiran itu. Hasil interaksi antara pikiran dan perasaan yang saling memberi makan "nafsu" ini, akan berakumulasi pada bentuk emosi manusia. Namun seiring dengan perjalanan pengalaman hidupnya, proses interaksi itu mulai berubah menjadi sebuah kebiasaan, dan tanpa disadari bahwa emosinya pun turut terakumulasi dengan tajam, bahkan akibat intensitas akumulasi emosi tersebut manusia jadi kesulitan untuk menghentikan aktifitas pikiran dan perasaannya sendiri. Dan puncaknya selalu mengganggu kesadaran jiwanya, sehingga tak heran bila manusia sering memaksakan kehendaknya sendiri untuk memuaskan hasratnya (terutama hasrat seksualitas, kepemilikan, dan kehormatan). Inilah sumber masalah yang dibuat oleh manusia itu sendiri, hingga membuatnya menjadi lupa diri. Alias, sakit ingatan..!!

Begitu juga ketika manusia sedang mengecap hasrat "malu"-nya, maka pikiran akan menciptakan banyak dalih untuk mempertahankan kehormatannya, bahkan tak jarang menipu diri sendiri, atau pun menipu orang lain. Dan tak heran bila perasaan yang turut menikmati sajian "malu" itu, akan menciptakan ekspresi jiwa yang memalukan juga, atau sekurang-kurangnya menjadi manusia yang tak tahu malu. Seperti itulah manusia yang tersesat dalam permainan ilusi pikiran dan perasaannya sendiri.. 

Tapi yang paling menyedihkan, ketika manusia telah mengalami kebuntuan pikiran dan rasa, saat itu jiwa mulai kehilangan kendali atas pikiran dan perasaannya, bahkan kendali jati diri menjadi terpisah dengan kenyataan hidupnya. Ada yang menjadi depresif, atau ada juga yang terobsesi pada delusi (khayalan), bahkan ada yang larut hingga menciptakan karakter kepribadian yang bukan jati dirinya sendiri.. Alias, sakit jiwa..!!

Nurani, Pelita Hidup

Sesungguhnya pikiran dan rasa adalah instrumen terindah yang diberikan Sang Mahapencipta untuk insan ciptaan-Nya, agar manusia memiliki kemampuan untuk mengenali hidupnya, serta memperindah kehidupannya sendiri. Inilah yang membedakan manusia dengan tanaman atau pun binatang..


Namun sayangnya, manusia selalu "berlebihan" dalam menggunakan pikiran dan perasaannya, sehingga "hasrat" yang seharusnya dapat berdaya guna bagi kehidupannya, malah tak mampu memberikan kontribusi positif untuk jiwanya sendiri. Bahkan nurani (atau pelita hati) yang hidup dalam sanubari manusia pun tak mampu dikenali oleh kedua instrumen itu. Padahal nurani tercipta bukan semata-mata untuk kenyataan insani saja, melainkan untuk mewakili citra Ilahi dalam jiwa manusia. Artinya, oleh karena nurani itulah manusia tercipta menjadi pelita kehidupan untuk semesta ciptaan Ilahi. Atau dengan kata lain, nurani menjadi sumber terang kebijaksanaan Ilahi bagi manusia untuk memurnikan jiwanya dari kesesatan, agar manusia memiliki kecintaan untuk memelihara dan melindungi seluruh kehidupan ciptaan Ilahi dari kekacauan atau kehancuran, termasuk melindungi kehidupannya sendiri..

Ilustrasi-nya, nurani seorang ibu akan tetap mengatakan bayinya yang cacat adalah anaknya. Meski pikiran dan perasaannya dapat memaksakan mulut dan lidahnya berkata itu bukan anaknya, namun nuraninya tak mampu mengingkari bayi yang cacat itu adalah bukan anaknya. Seperti itulah nurani yang hidup di dalam sanubari manusia, dia hanya ingin mencintai dan tak ada yang diinginkannya lagi selain memberikan cinta saja. Ilustrasi lainnya, seorang buta yang berjalan dihadapanmu, hendak menyebrangi jalan raya yang ramai kendaraan. Kini jawablah dengan nuranimu sendiri..?

Semper Reformanda

Jadi sesungguhnya nurani merupakan sebuah energi kekuatan cinta yang bersumber dari Cinta Ilahi untuk hidup manusia, dan sangat berdaya cipta bagi kehidupannya. Namun nurani itu terlalu lembut untuk bisa mematikan kekuatan pikiran dan perasaan manusia, yang memiliki kemampuan menghancurkan kehidupannya. Sebab nurani hanya berpihak kepada kebenaran saja, dan bukan untuk kehancuran hidup manusia atau pun mengingkarinya. Oleh karenanya, nurani bukanlah sesuatu yang bersifat rigid, statis atau pun kaku tanpa perubahan sama sekali. Akan tetapi ia justru sangat dinamis, sangat hidup, bergerak terus dengan indah dan selalu setia mengikuti harmoni kehidupan manusia beserta seluruh semesta ciptaan Ilahi, dan hanya terarah untuk memelihara dan melindungi kelangsungan Cinta Ilahi kepada kehidupan ciptaan-Nya..

Inilah "inti" yang tak pernah berubah itu, yakni "keindahan hidup yang selalu tinggal tetap, kekal abadi, dan selalu berubah menjadi baru". Karena yang berubah hanyalah perubahannya saja. Seperti biji apel yang berubah menjadi tunas, dan tumbuh menjadi pohon yang menghasilkan buah kehidupan yang baru..

Maka itu, kapan pun dan di mana pun manusia berada, nurani akan selalu hadir mengikuti kenyataan semesta kehidupannya. Ketika manusia ingin menguasai yang bukan miliknya, nuraninya akan berkata "itu bukan untukmu". Atau ketika manusia menghadapi tembok penghalang hidupnya, maka nurani akan mengajaknya untuk “kembali ke jalan yang benar”, agar ia tidak "bernafsu" untuk membobol atau pun meratap "malu" di tembok penghalang itu..

Oleh sebab itu, gunakanlah pikiran dan perasaanmu sebatas diperlukan saja, jangan terlalu berlebihan, sahabatku..! Dan, kenalilah nuranimu..!! Hanya nuranimu yang mampu mengajarkan dirimu menjadi manusia yang peka akan kebenaran, serta merubah pikiran dan rasamu dari keinginan-keinginan yang bisa membuat hidupmu menjadi getir. Meskipun ia sering berseberangan dengan pikiran dan rasamu, namun percayalah pada pelita hatimu, karena ia berasal dari sumber hidupmu sendiri, yang akan membawamu pada kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidupmu sebagai insan ciptaan-Nya..

Dan ingatlah, bahwa setelah kematian dagingmu, sesungguhnya penjaga pintu surga tak pernah memperhitungkan kesalahanmu lagi, melainkan ia hanya menghitung “seberapa banyak perbuatan cinta yang telah engkau berikan bagi semesta kehidupanmu”. Hanya ukuran itu saja yang dapat membawa langkahmu berlanjut melampaui ambang pintu itu..

Sekali lagi, hanya nuranimu saja yang mampu membimbingmu untuk melakukan banyak perbuatan cinta, maka kenalilah nuranimu dan ikutilah dia. Itulah kekayaan hidupmu yang tak pernah berubah..! Dan ketahuilah, bahwa tidak ada seorang pun yang mampu merubah hidupmu, selain dirimu sendiri. Semper Reformanda, sahabatku..!!

Untuk menutup pesanku ini, aku ingin mengakhirinya dengan sebuah pesan nurani yang sangat indah dari Mother Teresa of Calcutta...

People are often unreasonable and self-centered. Forgive them anyway.

If you are kind, people may accuse you of ulterior motives. Be kind anyway.


If you are honest, people may cheat you. Be honest anyway.


If you find happiness, people may be jealous. Be happy anyway.


The good you today may be forgotten tomorrow. Do good anyway.


Give the world the best you have and it may never be enough. Give your best anyway.


For you see, in the end, it is between you and God. It was never between you and them anyway.