30 Agu 2011

Qui Habet Aures Audiendi Audiat..!

Seorang karyawan datang bersama rekan sekerjanya, dan bertanya kepadaku, “mengapa boss-ku selalu mengatakan kepada semua orang bahwa gaji teman sekerjaku ini lebih tinggi dariku, padahal menurut pengakuannya tidak seperti itu”, “apakah boss-ku sudah tidak menyukai aku lagi ya..?”..

Aku menjawab dengan sederhana saja, “karena temanmu ini orang bodoh..”.. Karyawan itu spontan tertawa, dan teman sekerjanya tertegun mendengar perkataanku tadi, namun ia tetap diam sambil memandangku dengan senyuman kecut, dan menantikan reaksiku.. Aku diam saja, dan tak ingin perkataanku tadi dianggap sebagai kelakar saja.. Akan tetapi tertawaan karyawan itu sudah menjadi tanda yang menegaskan bahwa dirinya merasa lebih pandai, atau sekurang-kurangnya rekannya itu memang benar tidak lebih pandai darinya..

Lalu karyawan itu bertanya lagi, “tapi mengapa boss-ku bicara seperti itu kepada semua orang ya..?”.. Aku jawab lagi dengan sederhana, “karena boss-mu sama bodohnya dengan temanmu ini..!”.. Kali ini keduanya spontan tertawa mendengar jawabanku.. Tapi aku tetap diam saja..

Masih belum puas mencari jawab, karyawan itu bertanya lagi kepadaku, “jadi apa salahku sehingga boss-ku berbicara seperti itu kepada semua orang, sebab aku menjadi bahan ejekan semua orang karena gajiku lebih kecil darinya..?”.. Dan, spontan aku jawab, “karena kamu lebih bodoh dari pada boss dan temanmu ini..!!”.. Kali ini tidak hanya karyawan itu saja yang terdiam, tapi temannya pun ikut terdiam.. Suasana berubah menjadi hening..

Sekarang, aku yang tersenyum sendirian (tentunya hanya di dalam hatiku saja).. Aku tersenyum lega atas runtuhnya sikap “bebal”.. Sebab kini karyawan itu mulai merubah sikapnya, dari “pikiran perkasa yang mencari pertikaian”, berubah sikap menjadi “telinga ramah yang mencari kata yang harum”.. Kali ini dia “menyerah”, dan dia sudah siap untuk “mendengar”..

Tumpul, rahmat yang tersembunyi

Setelah beberapa saat, aku memecah keheningan dengan menjelaskan maksud jawabanku tadi..

Sesungguhnya yang jadi masalah bukan pada perkataan boss-mu, tapi masalahnya ada pada dirimu sendiri..! Sebab, tujuan boss-mu mengabarkan gaji temanmu yang lebih tinggi darimu, hanya untuk menjelaskan tentang ungkapan cintanya saja.. Supaya semua orang tahu, bahwa boss-mu menyayangi temanmu yang bodoh ini.. Itu saja, tidak lebih..

Penyebabnya, karena dia “bodoh”, maka dia dinilai hanya tahu apa adanya saja.. Artinya, pikirannya terlalu tumpul untuk bisa memanipulasi kenyataan.. Alias “jujur”.. Jadi intinya, alasan boss-mu menyayangi temanmu ini karena dia dinilai sebagai karyawan yang jujur.. Dan faktanya, siapa pun yang memiliki usaha, pasti tak ingin kehilangan karyawan yang jujur dalam karyanya.. Bukankah kejujuran sangat mahal harganya..??

Kali ini hanya temannya saja yang tersenyum lega, seakan sebutan “bodoh” yang berulang kali aku lekatkan padanya seperti lenyap tanpa bekas.. Dan baru disadarinya, ternyata boss-nya sangat mempercayai dirinya..

Ketajaman yang menyakitkan

Tapi justru sebaliknya, karyawan yang gelisah itu menatapku penuh curiga, seakan-akan aku sedang menempelkan label “tidak jujur” di dahinya..?? Tapi aku tak memperdulikan tatapan itu..

Lalu aku lanjutkan penjelasanku.. Sesungguhnya hanya satu hal saja yang menjadi sumber kobodohan boss-mu, yakni hanya “Ketakutan” saja.. Dan yang membuat boss-mu menjadi bodoh, bukan hanya ia takut kehilangan karyawan kepercayaan saja, tapi karena dia juga terlalu “pengecut” untuk mengatakan kepada semua orang, “jangan ganggu si bodoh ini, dia orang kepercayaanku..!!”, tapi dia mengatasi ketakutannya dengan caranya sendiri dalam bahasa yang unik, “aku menggaji dia lebih besar dari pada karyawanku yang pandai..”, padahal itu adalah sebuah kebohongan..! Sebab apabila boss-mu seorang yang pemberani, pasti dia tidak takut kehilangan karyawan yang bodoh.. Bukankah masih ada banyak orang bodoh di luar sana yang bisa dibodoh-bodohi olehnya..?? Spontan keduanya tertawa terpingkal-pingkal..

“Tapi kalau dibandingkan dengan kebodohan boss-mu”, lanjutku untuk menghentikan tawa mereka berdua.. Maka kebodohanmu sangat keterlaluan sekali, karena jika boss-mu rela membodohi dirinya dengan kebohongan, supaya ia tidak menyakiti “pendengaran” orang lain.. Tapi kamu malah rela dibodoh-bodohi oleh kebohongan dengan menyakiti “pendengaranmu” sendiri.. Ini sangat menyedihkan sekali..! Inilah masalahmu..

Maksudku, kamu memang tidak tuli, dan itu patut kamu syukuri, karena telingamu sudah bekerja dengan baik.. Tapi kamu belum bijaksana dalam “mendengar”, karena perkataan yang tidak ada kaitannya dengan dirimu, telah kamu olah sedemikian rupa hingga membuatmu menjadi gelisah.. Sekali lagi, ini bukan salah telingamu.. Tapi salah pikiranmu sendiri..!! Karena pikiranmu bekerja terlalu tajam, bahkan sebuah kebohongan pun tetap diasah dalam pikiranmu.. Makanya tak heran kalau ketajaman itu jadi menusuk dan menyakiti perasaanmu sendiri, dan tanpa kamu sadari, perasaan itu ikut menumbuhkan semak berduri di dalam pikiranmu, bahkan memaksamu mengasah pikiran lagi untuk menciptakan perlawanan terhadap rasa sakit yang kamu derita.. Intinya, kamu menderita oleh karena ketajamanmu sendiri..!

Nah, sekarang pulanglah.. Karena sesungguhnya tidak ada masalah dengan perkataan boss-mu, atau dengan gaji dan pekerjaanmu.. Tapi masalahnya justru karena kamu sering menikam jiwamu dengan ketajaman pikiran dan perasaanmu sendiri.. Nah, mulai sekarang tumpulkanlah pikiranmu agar tidak menusuk perasaanmu, dan tumpulkan juga perasaanmu agar kamu tidak mengasah pikiranmu lagi.. Gunakanlah pikiran dan perasaanmu sebatas diperlukan saja, jangan terlalu berlebihan..! Semoga kamu cepat sembuh dari kebiasaan menyakiti diri sendiri..

Lalu mereka pun pamit, dan pulang..


Qui habet aures audiendi audiat..!

Sepanjang kisah nyata tadi, aku terhanyut oleh ucapan syukur Sang Guru kepada Tuhan, yang bersukacita karena mengetahui rahasia “Kebenaran”..
“Aku bersyukur pada-Mu, Tuhan, langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil”
Ucapan itu juga yang meyakinkan aku, bahwa karyawan yang jujur itu layak membawa pulang sukacita yang sama seperti sukacita Sang Guru, sebab dengan segala atribut kebersahajaan orang kecil dan bodoh yang melekat padanya, justru telah berbuah kebenaran akan cinta dan kepercayaan boss-nya untuk karya kehidupannya sendiri..

Sedangkan karyawan yang pandai itu, yang awalnya datang dengan membawa segala ketajaman pikir dan rasa untuk membuktikan kebenarannya, malah pulang dengan membawa bukti-bukti baru dari kesalahannya sendiri.. Sebab ia telah mengukur perkataan orang lain menurut ukuran ketajaman pikiran dan perasaannya sendiri, namun dengan ukuran ketajaman itu juga "Sang Kebenaran" mengukurkan kembali kepada dirinya sendiri, sehingga terbongkarlah bukti kebodohannya mengenai cara berpikir dan cara mengolah rasa dalam mendengarkan perkataan orang lain.. Sungguh ironis..!!

Mungkin ada baiknya bagi karyawan itu untuk merenungkan pesan ahli semiotika ini, agar kepandaian dan kepekaannya hanya cukup digunakan untuk mengenali tanda-tanda kebenaran saja, atau sekurang-kurangnya tidak harus membuat pikiran dan perasaannya bekerja untuk hal yang sia-sia..
“Perhaps the mission of those who love mankind is to make people laugh at the truth, to make truth laugh, because the only truth lies in learning to free ourselves from insane passion for the truth”
--Umberto Eco (The Name of the Rose)

Karena ternyata satu-satunya jalan untuk mengenali tanda-tanda kebenaran, hanya cukup dengan belajar membebaskan diri dari kegilaan atas hasrat untuk menemukan kebenaran.. Sebab yang sesungguhnya benar-benar nyata adalah, "manusia selalu sulit menerima kebenaran yang tidak sesuai dengan harapannya".. Termasuk juga dalam hal "mendengar"..

Dan akhirnya, sambil mengantarkan kedua karyawan itu pergi, aku mengulang kembali seruan Sang Guru, di dalam hatiku, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar..!” (lat: "Qui habet aures audiendi audiat..!" ~ Mt 13: 9).. Semoga engkau menanggapi dan memahami seruan "Kebenaran" itu, sobat..